Tuesday, May 10, 2011

Gedung DPR Baru : Moral Kapitalisme Rakyat

Gedung DPR Baru : Moral Kapitalisme Wakil Rakyat.

Yutimah
Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS UNP (02464/2008)
Pendahuluan
Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai pembangunan nasional Indonesia yang pada saat ini lebih mengarah kepada penggunaan ekonomi kapitalistik dan mengabaikan ekonomi kerakyatan. Kenyataan tersebut bukan hanya terjadi di dalam praktek distribusi ekonomi secara umum saja namun juga di dalam praktek pembangunan. Moral kapitalisme telah merasuk ke dalam semua elemen bahkan wakil rakyat sekalipun. Moral kapitalisme wakil rakyat tersebut terlihat dalam rencana pembangunan Gedung DPR yang akan menghabiskan banyak biaya dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Pembangunan Gedung DPR tersebut tentunya sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[1].
Di tengah-tengah kemiskinan, pengangguran dan kelaparan yang masih dirasakan oleh sebagian besar warga Negara Indonesia pada saat sekarang ini, rencana pembangunan gedung baru tersebut dirasa tidak tepat karena melihat kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat telah diabaikan. Jika dihubungkan kembali kepada tujuan pembangunan nasional Indonesia, maka hal tersebut akan sangat bertentangan dengan asas kerakyatan. Biaya pembangunan gedung DPR yang diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar 1 triliun lebih tentu saja menggunakan uang rakyat, jika biaya yang sebesar itu disalurkan untuk kesejahteraan rakyat maka tentunya bisa mengurangi kemiskinan, kelaparan dan pengangguran yang masih banyak menjadi masalah rakyat Indonesia saat ini. Jika di dalam kenyataannya,wakil rakyat lebih memilih untuk membangun gedung DPR demi kenyamanan mereka sendiri, maka jelas inilah potret moral kapitalisme wakil rakyat.
Gedung DPR Baru : Moral Kapitalisme Wakil Rakyat.
Tidak bisa di pungkiri bahwa sistem kapitalisme dewasa ini telah mengalami metamorfosa yang begitu luar biasa dari zaman sang founding father Adam Smith sampai sekarang ini. Di dunia, kita telah kenal ada dua idelogi besar yang mapan dan telah teruji oleh waktu, yaitu kapitalisme dan sosialisme komunis. Kebanyakan Negara Barat menganut ideologi kapitalis demokratis,  sedangkan kabanyakan negara-negara di Timur terjangkit demam sosialisme. Pada perkembangan selanjutnya, batasan ekstrim antara ideologi besar tersebut makin kabur dalam memenuhi kriteria secara tepat.  Kapitalisme telah merasuk secara global mempengaruhi ngara-negara sosialis-komunis seperti Uni Soviet, China bahkan Indonesia.[2]
Praktek kapitalisme di Indonesia tidak hanya merasuk ke dalam praktek distribusi ekonomi namun juga telah merasuk terhadap keseluruhan moral bangsa Indonesia termasuk moral wakil rakyat bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia pada saat ini ingin mengikuti gaya Barat dalam bidang kemewahan yaitu dengan cara membangun gedung DPR baru dengan desain yang mewah dan dengan biaya yang mahal. Rencana pembangunan gedung baru tersebut pada dasarnya kurang memperhatikan kondisi sosial ekonomi rakyat yang masih banyak terjerat oleh kemiskinan, pengangguran dan kelaparan.
Selain bertentangan dengan tujuan nasional bangsa Indonesia, pembangunan gedung DPR baru di tengah kemiskinan rakyat Indonesia juga telah bertentangan dngan visi pembangunan yang berpusat rakyat. Visi yang berpusat rakyat menurut David C. Korten adalah dimana rakyat mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan pembangunan[3]. Pada saat sekarang ini suara rakyat kurang mendapat perhatian, bahkan ketua DPR Marzuki Ali dalam Media Indonesia mengungkapkan bahwa rakyat tidak perlu ikut campur dalam pembangunan gedung DPR tersebut. Ungkapan ketua DPR dikutip dalam media Indonesia adalah sebagai berikut :”Ini cuma orang-orang elite yang paham. Rakyat biasa enggak bisa dibawa,” kata Marzuki[4]. Ia menegaskan rakyat tidak bisa menjangkau pemikiran terlalu mendalam soal pembangunan gedung. Kenyataan tersebut sangat miris bahkan pernyataan tersebut sangat jelas merendahkan rakyat dan menampakan keelitan dan moral kapitalisme wakil rakyat.
Pemerintah selama ini juga sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan mendukung kelestarian lingkungan. Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Salah satu bukti dari bentuk kapitalisme dan komersialisme yang digunakan untuk kepentingan birokrat adalah rencana DPR untuk memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1,3 triliun. Tidak tanggung-tanggung gedung tersebut pun akan di fasilitasi dengan kolam renang dan tempat spa. Sungguh ironi disatu sisi pemerintah begitu mudahnya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan yang tidak ada hasilnya kepada rakyat, tetapi di sisi lain dengan alasan untuk menghemat anggaran pemerintah menaikan TDL sebesar 15% karena defisit APBN[5].
Pembangunan di negara dunia ketiga memang selalu memiliki dampak pada pengorbanan manusia yang sangat besar, baik bersifat fisik dan non fisik. Karena cenderung menggunakan strategi pembangunan model kapitalistik yang menekankan pada kinerja pertumbuhan ekonomi, dan pengorbanan fisik terjadi dalam hubungannya dengan perbedaan pendapatan buruh, kemiskinan. Pada sisi non fisik pengorbanan tersebut berupa penghilangan makna dimana pembangunan telah mengundang tekanan hebat terhadap kerangka makna yang baru yang belum diyakini oleh rakyat, karena rakyat membutuhkan orientasi nyata dari pembangunan yang diarahkan tersebut agar berhasil pula dalam hidup dan kehidupannya. Maka dalam hal ini pembangunan itu cenderung menjadi sebuah ideologi dan mitos yang tidak manusiawi.
Indonesia Budget Center  dalam [6]mengungkapkan, angka sekitar Rp 1,2 triliun ini yang merupakan besaran angka anggaran untuk membangun Gedung DPR yang baru, setara dengan:
1. Dana untuk BOS SMP bagi 2,02 juta siswa. Berdasarkan kebijakan BOS Tahun 2010, dana BOS SMP Rp 575.000 per tahun
2. Dana pembangunan 16.000 ruang kegiatan belajar atau kelas baru. Sekitar 16.000 kelas baru ini dapat menampung setidaknya 640.000 siswa (dengan asumsi 1 ruang kelas dapat menampung 40 siswa). Berdasarkan Permendiknas 19/2010, standar biaya 1 ruang kelas baru sekitar Rp 80 juta.
3. Dana bagi 19,5 juta peserta Jamkesmas baru (biaya Jamkesmas saat ini sekitar Rp 66.700 per tahun).
4. Dana untuk membangun 21.000 unit rumah baru di Wasior, Padang, Mentawai, dan Yogyakarta. Berdasarkan desain dari Teknik Sipil ITS, biaya pembangunan satu unit rumah baru sekitar Rp 60 juta.
5. Dana untuk menaikkan subsidi pupuk sebesar 8 persen. Subsidi pupuk 2011 sebesar Rp 16,3 triliun, atau turun 11 persen dibandingkan tahun 2010 (Rp 18,4 triliun).
Ditambah lagi, jika Pemerintah serius untuk membangun fasilitas Olah Raga, maka besaran angka Rp. 1,3 triliun itu mampu digunakan untuk membangun Stadion bertaraf Internasional. Minimal membangun Gedung Olah Raga seperti Gelora Bung Karno, dana fantastis itu mampu digunakan untuk membangun stadion sebanyak 3 Gedung.
Penutup
Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor kebutuhan akan ruang kerja yang membuat para anggota dewan tersebut ingin merencanakan pembangunan Gedung DPR baru tersebut. Akan tetapi kebutuhan itu hendaknya harus disesuaikan juga dengan kondisi ekonomi negara dan bangsa Indonesia. DPR sebagai wakil rakyat hendaknya lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat yang sampai saat ini masih rendah. Di tengah-tengah kemiskinan, pengangguran dan kelaparan rakyat Indonesia hendaknya DPR mampu mempertimbangkan lagi rencana pembangunan gedung DPR tersebut. Jika memang terdesak oleh kebutuhan, gedung bisa direnovasi, bukan harus dibangun dengan yang baru. Disamping itu juga, jika pembangunan ini tetap dilaksanakan, akan begitu banyak kendala-kendala yang harus diperhatikan, terutama dari kalangan masyarakat bawah hingga menengah.
Alangkah bijaksananya jika DPR lebih menempatkan nilai sebagai tujuan pembangunan bukan karena pertumbuhan ekonomi yang cenderung akan mengabaikan kepentingan rakyat, karena pertumbuhan ekonomi yang positif juga atas dukungan kerja masyarakat dan ini pula yang selalu menjadi pemicu konflik antara tenaga kerja dan pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis. Pembangunan nasional Indonesia hendaknya kembali kepada tujuan pembangunan nasional Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 yang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dalam mengambil keputusan pembangunan gedung DPR tersebut hendaknnya mengikutsertakan peran rakyat bukan untuk kepentingan kapitalisme wakil rakyat sendiri. Kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya diliputi dengan kesejahteraan yang merata dan pembangunan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat dengan mengurangi tingkat pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan[7].
.

[1] Soeroso, Santoso. 2005. Mengharusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
[2] Yuliharto, Freddy. 1986. Gejolak Kapitalisme. Jakarta : PT Golden Terayon Press
[3] Corten, David, C. 1989. Menuju Abad Ke – 21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Pustaka Sinar Harapan.
[4] Dikutip dari : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/214847/265/114/Marzuki-Halangi-Rakyat-Bicara-Gedung-DPR-. Diakses tanggal 18 April 2011

No comments:

Post a Comment

next page
 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Yutimah Damazier |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net