Sunday, May 22, 2011

Haruskah kita berasumsi bahwa orang lain bersikap rasional?

Rasionalisme menegaskan bahwa tindakan manusia pada tingkatan tertentu harus bersifat rasional. Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.

Rasionalisme selalu melihat kepada tindakan yang menurutnya rasional (masuk akal). Para rasionalis terlebih dahulu membedakan antara gerakan dengan tindakan. Dalam hal ini dicontohkan 2 orang yang melakukan gerakan mengedipkan mata. Orang yang pertama mengedipkan mata karena kedutan, sedangkan orang yang kedua mengedipkan mata karena memiliki tujuan dan makna yang ditujukan kepada orang lain. Contoh tersebut yang lebih berkaitan dengan pandangan rasionalis adalah tindakan yang kedua yang merupakan tindakan dengan tujuan dan makna yang ditunjukan kepada orang lain dan dapat dimaknai secara rasional. Para filsuf aliran rasionalisme menyimpulkan dari kejadian itu bahwa semua tindakan untuk dapat disebut tindakan harus bersifat rasional pada tataran tertentu. Untuk mengemukakan alasan dari tindakan adalah mengetahui keyakinan dan keinginan yang menjamin tindakan tersebut dari pandangan aneh. Dengan cara seperti itu mereka merasionalisasinya dalam pengertian yang mnunjukan bahwa hal itu memang perlu dan patut dilakukan

Tindakan yang rasional menurut pemikiran rasionalisme adalah tindakan yang memiliki alasan dan sebab. Alasan adalah sebuah keinginan atau keyakinan dari agen yang melakukan suatu tindakan. Sedangkan sebab adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang harus brtindak rasional sesuai keadaan tersebut.
Rasionalisme memandang Irasional sebagai tindakan yang tidak jelas dan tidak patut dilakukan atau tidak umum dilakukan sehingga tidak mampu dinilai secara nalar (logika). Pemikir rasionalisme memandang bahwa ada perbedaan mendasar dari tindakan rasional dengan irasional. Lalu yang akan dilihat lebih jauh disini adalah di dalam ilmu sosial apakah kita akan selalu melihat dan berasumsi bahwa orang lain harus bersikap rasional?. Di dalam ilmu sosial sepertinya pemikiran rasionalisme tidak dapat dipakai secara sepenuhnya.
Ilmu sosial melihat segala sesuatu dengan prinsip perikemanusiaan. Hal tersebut dikarenakan kita tidak bisa selalu mendoktrin apakah orang tersebut bertindak secara rasional. Para ilmuwan sosial harus mampu memahami orang lain dan menyelami makna dan tujuan dari apa yang mereka lakukan. Prinsip perikemanusiaan melihat bahwa para agen yang melakukan tindakan adalah dapat dimengerti. Contohnya saja : seseorang yang menerabas lampu merah secara rasional adalah melanggar aturan dan hukum yang ada. Namun kita bisa memahaminya dengan cara yang lain, bisa jadi orang yang menerabas lampu merah adalah karena dia memiliki tujuan lain atau hal lain yang membuatnya menerabas lampu merah.

Untuk mengetahui secara mendalam berdasarkan prinsip kemanusiaan, maka layaknya peneliti kita harus menggunakan metode Thick Description (deskripsi secara mndalam). Dalam penelitian ilmu sosial, khusunya ilmu antropologi seperti penelitian Clifford Geertz, maka penelitian akan berusaha memahami hal yang diteliti secara emik, baru kemudian diterjemahkan secara etik. Secara emik adalah bagaimana peneliti berusaha memahami segala sesuatu berdasarkan pemahaman masyarakat yang diteliti. Jadi, walaupun pada awalnya hal yang kita teliti bersifat irasional, namun setelah kita berusaha mmahaminya dari sudut pandang agen yang kita teliti itu, maka kita akan mampu memahaminya.

Haruskah kita harus berasumsi bahwa orang lain bersikap rasional? dan apakah kita harus senantiasa menolak untuk memahami seuatu yang tidak rasional menurut kita? Jawabannya adalah “TIDAK”. Karena kita bisa memahami seseorang/tindakan seseorang dengan mengetahui alasan, tujuan dari agen yang melakukan tindakan tersebut. Kita tidak prlu beranggapan bahwa mereka selalu rasioanl. Lagipula, apa yang dapat diterangkan secara rasioanal sendiri mungkin tidak sama antara waktu dan tempat. Ilmu sosial mengajarkan kehidupan yang arif dan mampu memahami orang lain, bukan hidup tanpa perasaan dan mengagungkan rasionalisme yang bisa menjebak kita ke dalam egoisme.

No comments:

Post a Comment

next page
 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Yutimah Damazier |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net